Pages

KESWADAYAAN DAN SALING MEMBERDAYAKAN

Sayogyo

(1) Menurut suatu rujukan (naskah, konsep Bank Dunia, tahun….) ada dibedakan antara beragam tipe “partisipasi” :
a) Membagi informasi : saru arah, tertuju pada masyarakat umum.
b) Konsultasi (“rembug”) dimana arus informasi dua arah.
c) Kerjasama, membagi wewenang dalam pengambilan keputusan : di dalam Panitia, Lokakarya, Kelompok Kerja atau Satuan Tugas dimana pelaku-mitra terwakili.
d) Pemberdayaan yang mencakup wewenang atas pengambilan keputusan dan atas pemanfaatan sumberdaya.
Jika uraian itu disingkat maka (definisi) “Partisipasi” adalah suatu proses dimana sejumlah pelaku bermitra punya pengaruh dan membagi wewenang di dalam prakarsa “pembangunan”, termasuk mengambil keputusan atas sumberdaya. Itulah arti Partisipasi yang tuntas, artinya dimana membangun partisipasi mencapai puncaknya dalam upaya pemberdayaan.
(2) Di Jakarta, 29 Oktober 2001 lalu ada suatu pemaparan penting oleh Menteri Dalam Negeri dalam suatu Rapat Koordinasi Pembangunan Nasional mengenai “kebijakan nasional percepatan pelaksanaan Otonomi Daerah di tahun 2002”.
Dari 9 butir uraian, disini dikutip:
a) Butir 4: upaya peningkatan kapasitas daerah dalam segala aspek (yaitu) aspek kelembagaan, personil, keuangan dan partisipasi masyarakat,
b) Butir 5: Otonomi daerah dilaksanakan dalam derap kerja terkoordinasi (vertikal/horisontal) dan diupayakan dengan partisipasi penuh dari masyarakat melalui kegiatan LSM dan elemen masyarakat lainnya,
c) Butir 8: Otonomi Daerah dilaksanakan dengan mendorong pengembangan jaringan kerja (networking) dan optimalisasi dukungan kerja sama tehnik luar negeri secara sistematis dan terencana
Di dalam uraian Menteri Dalam Negeri itu dirujuk suatu Program Prioritas yang terdiri dari program utama peningkatan kapasitas daerah dan masyarakat serta program-program pendukung pelaksanaannya.
Program-program itu meliputi 7 pasal, diantaranya
a) Peningkatan Kapasitas Daerah dan partisipasi masyarakat, yang beberapa kali merujuk istilah “di lapangan” dan “aplikasi lapangan”. Hal itu menunjukkan betapa pentingnya proses Otonomi Daerah itu agar dapat terlaksana sampai di tingkat Desa dan Kelurahan dan melibatkan masyarakat: perorangan (laki-laki dan perempuan) keluarga, kelompok kecil dan komunitas kecil sampai komunitas lebih besar yaitu antar-Desa, antar-Kecamatan.
b) Ada satu pasal yang menyebut fungsi “penelitian dan pengembangan dalam mengikuti perkembangan aplikasi lapangan. Hal ini dapat diartikan penting kita ketahui apa yang terjadi dalam masyarakat: siapa-siapa yang tergerak, bergerak, dan apa hasilnya dimana terlibat sejumlah pelaku berkepentingan: ada aparat Pemda, pengusaha dan masyarakat umum yang tergabung maupun tak-berorganisasi.
c) Ada satu pasal lagi yang menyoroti “kegiatan LSM dan masyarakat umum dalam aktualisasi demokrasi
Di dalam Program Peningkatan Kapasitas Pemda yang tercakup kebijakan percepatan pelaksanaan “Otonomi Daerah” dibedakan antara peningkatan “kapasitas aparatur” Pemda dan peningkatan “kapasitas kelembagaan” Pemda.
a) Program Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah: Untuk meningkatkan kompetensi, profesionalisme dan kemampuan manajemen aparat pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan guna mendukung penyelenggaraan pemerintah, pengelolaan pembangunan dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat di Daerah.
b) Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintahan Daerah antara lain agar terbangun hubungan kerja antar lembaga di lingkungan Pemda baik lembaga eksekutif maupun legislatif dan hubungan kerja lembaga pemerintah dengan lembaga masyarakat. …..diirinci atas 7 butir kegiatan antara lain butir (6) pengembangan dukungan sistem informasi untuk penyelenggaraan Pemda yang dimulai dengan rintisan-rintisan.
(3) Kami nilai sifat “hubungan kerja lembaga Pemda dengan lembaga Pemerintah Desa” belum terungkap di sini, pada hal di UU Otonomi Daerah No:22, tahun 1999 ada dua pasal (99 dan 100) mengenai hal itu, yaitu dalam hal terjadi suatu perbantuan program dari Pemda kepada Desa, disertai syarat-syaratnya.

Kutipan dari UU Otonomi Daerah (No 22, 1999)
Bagian Kedua : Pemerintah Desa
…Pasal 99
Kewenangan Desa mencakup :
a) kewenangan yang sudah ada berdasar hak asal-usul desa.
b) kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah.
c) Tugas perbantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten.
Pasal 100
Tugas perbantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya.
Penjelasan Pasal 100
Pemerintah Desa berhak menolak pelaksanaan tugas perbantuan yang tidak disertai dengan pembeadaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia.

(4) Di dalam sikon (situasi dan kondisi) permasalahan apa kita berupaya mengembangkan proses partisipasi dan saling memberdayakan ?
a) Di bidang (proses) kepemerintahan dan keperwakilan rakyat.
b) Di dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan dengan memperhatikan keberlanjutan mengingat potensi lingkungan sumberdaya alam yang terbatas (teknoekonomi).
c) Dalam mengatasi masalah sosial : bidang pendidikan, kesehatan, dan kependudukan (pertumbuhan jumlah, gerakan, dan mutu penduduk).
d) Dalam mewaspadai dan mengatasi konflik sosial budaya dan gangguan keamanan.
Siapa pelaku-mitra dalam proses saling memberdayakan itu, dalam rangka pengembangan Otonomi Daerah atas dasar pengembangan otonomi masyarakat desa (dan kota) ?
a) Aparat pemerintah : Pusat, Pemda di aras Propinsi, Kabupaten/Kota.
b) Golongan pengusaha di kota besar dan kecil.
c) Masyarakat desa, mencakup golongan pemimpin di desa, bail formal maupun informal, maupun golongan masyarakat “pinggiran”.
d) LSM (NGO) dan lain lembaga madani, juga di beragam aras : nasional, daerah, dan lokal.
e) Lembaga pendidikan dan penelitian, khususnya perguruan tinggi lembaga pencipta informasi baru yang mampu menyegarkan.
f) Lembaga dana dan lembaga bantuan teknik, nirlaba (termasuk dari luar negeri).
(5) Bagan yang Menampilkan Pola Proses Pendemokrasian di dalam Otonomi Daerah

(6) Sampai mana suatu Program Penanggulangan Kemiskinan punya daya membangkitkan keswadayaan golongan miskin, dalam upaya memperbaiki nasib sendiri?
Joshi dan Moore (2000) berusaha mengatasi jargon-jargon bahasa hal “partisipasi”, “pemberdayaan” dan program “sesuai permintaan” golongan miskin memperkenalkan istilah “mobilisasi” (diri) yaitu suatu pemberdayaan kolektif, mencakup pengorganisasian diri dalam tindakan bersama. Ciri-ciri positif suatu program Pemerintah adalah karena menyediakan sumberdaya ke-organisasian yang didasari peluang politik. Sebaliknya ciri negatifnya adalah kurang siap membawakan ide dan nilai-nilai sosial yang dapat menyentuh manusia dan golongan miskin. Sebaliknya pihak LSM yang lebih siap dalam menyentuh ide dan nilai-nilai lokal (golongan miskin) itu. (Catatan: maksudnya tipe LSM yang sempat belajar banyak dari masyarakat di lapisan bawah!)
Atas dasar itulah ada anjuran agar memisahkan pengelolaan suatu Program (Kemiskinan, dsb.) (aspek ini tangungjawab Pemerintah Daerah) dari upaya proses “penyadaran” (golongan masyarakat miskin yang diajak berswadaya) dimana LSM yang diberi peranan.
Lebih lanjut ada peringatan (Joshi, Moore) agar waspada dalam memilih corak organisasi Program. Khususnya bahaya pengorganisasian korporatisme dan ko-optasi Negara dalam Program Pemerintah. Satu kasus yang jelas di Indonesia di masa Orde Baru adalah peranan suatu lembaga baru, hasil suatu KepPres, yang memberi hidup pada suatu lembaga bernama LKMD di desa di dalam rangka pembangunan Desa sesuai pola Pemerintah Desa yang di-nasionalisasi (UU tahun 1979, kelanjutan dari UU No.5, 1974 hal pemerintah di daerah).
Satu contoh lain di masa itu adalah apa yang dialami oleh golongan petani, khususnya petani padi sawah yang sejak awal 1970-an menjadi objek kooptasi dalam serangkaian Program Bimas, Inmas dan Insus dengan umpan subsidi kredit dan pupuk, memakai bibit unggul baru (pembuka suatu Revolusi Hijau) dimana “barisan petani” di sawah merupakan satuan kerja di satuan wilayah air irigasi sawah. Dan satuan koperasi (yang disebut Koperasi Unit Desa) mempersatukan sejumlah petani lapisan atas antar- Desa menjadi anggota dimana Koperasi itu juga ter-kooptasi demi politik harga beras murah bagi konsumen.
Alternatif yang paling berani, menurut Joshi, Moore adalah upaya menciptakan “lingkungan kelembagaan yang memberdayakan” dimana terlibat lembaga yang dipercaya golongan miskin, yang dapat diandalkan jasa-jasanya dalam hal bentuk, isi dan syarat-syarat pelayanan yang jelas lagipula mengandung pengakuan akan hak-hak golongan yang dibantu itu dari segi moral dimana pengorganisasian Program menggelar mekanisme yang terjangkau golongan yang dilayani.
Kesimpulan Joshi dan Moore dari studi banding di India (antara 2 jenis program berbeda, dalam rangka Penanggulangan Kemiskinan) sesuai dengan pengalaman Pusat P3R-YAE yang (dalam kerjasama dengan suatu LSM lokal) pernah mengembangkan metode KTP (Kajian-Tindakan Partisipatif, atau PLA: Participatory Learning and Action: Belajar Bersama dan Berperan Setara) dalam tugas melakukan upaya pendampingan lanjutan di desa-desa IDT di sejumlah wilayah terpencil di Sulawesi Tengah dan Irian Jaya, 1997-1999. (Rujukan: Buku Menelusuri Jejak Ketertinggalan, dengan sub judul: Merajut Kerukunan dan Melintasi Krisis, penulis/penyunting Budi B. Siregar, 2001). (“Krisis” disitu bukan krisis ekonomi yang menimpa makro-ekonomi Indonesia, melainkan krisis dalam kelembagaan pelayanan Pemerintah Daerah yang menghimpit sikon masyarakat desa. Rujukan ke arti “kerukunan” (di desa) memang sesuai apa yang dialami masyarakat (sebagian) desa-desa IDT yang sempat mendapat pendampingan lanjutan itu. Setelah proses “penyadaran-diri” berlanjut, orang di desa itu mendambakan suatu “kerukunan” antar-golongan dan antara pimpinan desa dan masyarakat. Suatu contoh proses “saling memberdayakan” yang hasilnya memberi harapan!
(7) Dalam hal kita mengkaji situasi dan kondisi “pembangunan: pertumbuhan dan pemerataan yang adil” dalam memahami “ekonomi rakyat” kita sering “memasang” suatu “panggung”; “pembangunan kelembagaan di aras lokal” (buku Uphoff 1986).
Dari bagan Uphoff itu dapat kita catat “bagian kiri panggung” ditempati lembaga Pemerintah; ada dua pengertian, pemerintah dalam arti administratif (tanggungjawab kepada atasan) dan kedua, pemerintah yang wajib bertanggung-jawab kepada rakyat, sesuai tatanan demokrasi. Di pihak kanan ada golongan pelaku “bisnis” di luar bisnis yang memburu keuntungan usaha, ada juga yang menyediakan pelayanan sosial. Diantara lembaga Pemerintah dan lembaga bisnis ada lembaga warga; contoh “koperasi” dimana pengurus bertanggungjawab pada anggota.
Bagan penggolongan jenis pelaku di aras lokal itu dihasilkan Uphoff dari mengkaji sejumlah besar studi kasus di berbagai negara berkembang (3 benua) dan dari sejumlah banyak “bidang pembangunan”.
Ada suatu bagan lain dari peneliti lain (Gibson, 2001) yang pada aras lokal, berusaha menempatkan beragam peluang usaha dan bekerja (kegiatan ekonomi), dirinci menurut transaksi “pasar”, peluang bekerja dan menerima “upah” serta bentuk pengorganisasian yang “kapitalis”. Bagan itu merupakan satu “peta” untuk melaporkan “aktivisme” golongan perempuan di aras “ekonomi komunitas“.
Yang menarik adalah bahwa di tiap aspek/lingkungan itu Gibson dapat menemukan dan membandingkan sejumlah banyak ragam peluang kegiatan ekonomi :
a. Diantara transaksi “pasar” dan “bukan-pasar” ada “pasar alternatif”. Misal, tergolong “bukan-pasar” adalah “barter” dan pertukaran “hadiah”, sedang “pasar alternatif” mencakup “sistem pasar lokal”, alat bayar alternatif dan pasar gelap.
b. Diantara “upah” dari bekerja berburuh dan bekerja “tanpa upah” (misal: kerja rumah tangga, mengasuh keluarga, tenaga sukarela) ada “upah alternatif” yaitu dari “bekerja sendiri”, upah dalam bentuk barang, dan ada upah dari sistem “kerja gotong royong timbal balik”.
c. Sebagai lawan dari bentuk “kapitalis” ada bentuk “bukan-kapitalis” (berusaha sendiri, atau gotong-royong komunal) sedangkan di dalam bentuk “kapitalis alternatif” tercatat etika sosial dan “etika lingkungan”.
Dalam bagan itu Gibson hendak menunjukkan (basis baru) ke-anekaragaman dalam hubungan ekonomi: ada ko-eksistensi antara beragam transaksi, beragam keterlibatan orang dalam bekerja dan keanekaragaman “mode” organisasi ekonomi yang ditemukan di aras “ekonomi komunitas”. Di aras itu transaksi ekonomi dipengaruhi prinsip-prinsip etika yang mendasari keterkaitan diantara semua kegiatan yang membangun komunitas itu. Prinsip-prinsip itu mendukung sejumlah nilai-nilai sosial yang berkaitan dengan hubungan kerabat, komunitas dan syarat keberlanjutan lingkungan.
Nilai-nilai itu yang menentukan cara suatu komunitas memahami dan mempraktekkan ke-setaraan dalam rangka transaksi material dan simbolik, dan memberi penghargaannya. Orang bekerja sesuai norma, begitu pula ada norma-norma atas cara-cara suatu surplus dihasilkan dan dibagikan mengikuti cara-cara yang dapat diterima. Di dalam suatu ekonomi komunitas kesejahteraan penduduk dan keberlanjutan komunitas merupakan tujuan “prioritas”.
Gibson: Women, Identity and Activism

(8) Bagan Gibson itu menunjukkan suatu “interphase” (bidang pembatas) antara “sistem kapitalisme” (terkait ekonomi-makro) dan “ekonomi komunitas” (atau “ekonomi rakyat”). Soalnya bagi kita, bagaimana mengembangkan ekonomi rakyat lebih jauh, dengan memperhatikan bahwa lewat “daerah pembatas” “ruang kapitalisme” itu berbagai pengaruh masuk kedalam “ekonomi rakyat”? Bagaimana kita bisa menguasai “proses interaksi” dengan ekonomi makro yang berada di bawah kendali politik negara? Di dalam seri seminar “Pendalaman Ekonomi Rakyat” ini kita mesti menuju kesepakatan tentang paradigma yang tepat untuk dapat menjelaskan apa yang sudah terjadi dalam Ekonomi Rakyat (sampai kini) dan apa yang mungkin kita lakukan dalam tahap pembangunan selanjutnya? (Misal: sampai 2020, dalam masa kurang dari 4 kali “Repelita”).
Yang penting adalah upaya kita agar dalam proses itu kita mampu belajar dari pengalaman beragam corak ekonomi Daerah yang beraneka ragam: ada yang padat penduduk, (penduduk kota mendekati 50 % penduduk, lahan pertanian terbatas), sebaliknya ada daerah dengan sumberdaya lahan luas, mengandung kekayaan sumber daya alam yang besar (sebagian rusak) dengan penduduk jarang, sebagian besar di pedesaan.
Sebagai contoh adalah “sikon” pertanian kita, dimana potensi tanah pertanian se-Indonesia masih luas berisi tantangan bagi kita: mampukah kita untuk meningkatkan produksi mendekati “swasembada pangan”? (beras, dan lain pangan). Begitupun potensi sumberdaya di perairan kita (terutama laut) besar. Jika diantara kita ada yang membantah Geertz (di pedesaan Jawa sempat terjadi “involusi pertanian” di abad ke-19, di masa kolonial pada waktu pertumbuhan penduduk berkembang terus), kita jangan lupa bahwa Geertz akhirnya merujuk ke kemampuan pemecahan masalah itu (se-Indonesia) yang dia harapkan datang dari pihak pimpinan Indonesia: suatu keputusan sosial-budaya! (Geertz seorang antropolog). Gejala di Konferensi Pangan Se-Dunia, FAO di Roma, suatu petunjuk paling actual: terpulang pada kemampuan Negara Berkembang sendiri!
Salah satu peluang “upaya pemberdayaan” petani kita sebagian ada dalam hal akses pada modal “lahan pertanian” (arti luas, mencakup lahan kering’ lahan basah dan perairan kita). Kecuali suatu “land reform” sesuai syarat-syarat Otonomi Daerah dan Otonomi Masyarakat Desa (atau dengan nama lain) di wilayah “penduduk jarang” yang mengenal adat penguasaan atas suatu “wilayah usaha bagi masyarakatnya”, tak cukup kita melakukan suatu “reforma agraria” terbatas pada bentuk hak milik perorangan. Suatu kombinasi antara pengakuan “hak masyarakat (satuan) Desa” (atau nama lain) dan hak perorangan diperlukan, tak lain agar kita memberi dasar “kontrol sosial di aras lokal” (oleh sesama warga Desa secara kolektif) atas perkembangan hak milik perorangan. Di masa kolonial, Negara sempat memberlakukan “wewenang” Negara atas tanah yang dihaki masyarakat Desa di Jawa sekitar 1870-an dan oleh RI semasa Orde Baru sejarah berulang di Luar Jawa, (sejak 1967: masuknya perusahaan besar bermodal, atas nama hak HPH). Hanya sebagian kecil bisnis HPH mencapai tahapan “berbudidaya perkebunan kayu” untuk mendukung industri pengolahan hasil kayu-kayuan. Warisan selebihnya adalah hutan yang rusak (potensi sumberdaya alam), dan ada juga akibat negatif pada budaya penduduk setempat yang terlanjur hidup dari tebangan kayu.di sisa hutan untuk pasaran di luar (paling dekat Jawa): dampak bentuk “kapitalisme” dengan prospek yang tak-berkelanjutan.
Kiranya suatu reforma agraria tak cukup berupa “land reform”: (contoh di muka berupa hak-hak atas lahan/tanah). Menurut H. de Soto (Mistery of Capital, 2000) yang diperlukan adalah “Property Reform”, berupa perluasan jangkauan hak-hak pemilikan “property” (lahan, bangunan, dsb.), demi memperoleh pengakuan umum (daerah, nasional dan global) atas potensi “modal” yang ada pada kita masing-masing (pemilik “property”: termasuk milik orang miskin yang hidup di “luar hukum (formal)”, agar potensi modal yang ada padanya, masuk hitungan dalam sistem eknonomi yang lebih luas. Setelah membaca Resensi Buku de Soto itu oleh Prof. Mubyarto (di JER kita) disini kami hanya menyambung; bagi peminat serius, kecuali anjuran ikut membaca cermat buku deSoto itu, silahkan masuki web ini: www.ild.org.pe. (Hasil Anda dari ber-selancar di dunia cyber itu harap nanti Anda bagi-bagi diantara kita, pembaca JER. Terima kasih).




Prof. Dr. Sajogyo: Guru Besar Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor
Makalah disampaikan dalam Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Keswadayaan, Jakarta, 18 Juni 2002.

Pustaka:
Siregar, B.B.: Menelusuri Jejak Ketertinggalan: Merajut Kerukunan Melintasi Krisis, Pusat P3R-YAE, Bogor, 2001
Mubyarto (penyunting), Sajogyo, BB Siregar, H. Subagyo dan Haryono: Memacu Perekonomian Rakyat, kerjasama Bappenas dan YAE, Jakarta, 1999
Sajogyo, B.B. Siregar dan H. Subagyo, Menuju PMD Reformasi, Pusat P3R-YAE, 1999.
Joshi, A. and M. Moore: The Mobilizing Potential of Anti-Poverty Programmes, IDS Discussion Paper 374, 2000
Gibson., K.: Women, Identity and Activism in Asian and Pacific Community Economies, in Development, SID, 2002, pp 74-83
Uphoff, N.: Local Institutional Development, Kumarian Press, West Hartford, 1986
De Soto, H.: The Mistery of Capital, Bantam Press, London, 2000

No comments: