Pages

Rasionalisasi "Kesetiakawanan" dalam Kelompok Sosial Remaja

Heru Suprapto


Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi kesehatan mental individu. Banyak individu yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagian dalam hidupnya, karena ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri, baik dalam kehidupan keluarga, sekolah, pekerjaan dan dalam masyarakat pada umumnya.
Tak jarang pula banyak orang-orang mengalami stres dan depresi disebabkan oleh kegagalan mereka dalam penyesuaian diri dengan kondisi yang penuh dengan tekanan. Penyesuaian diri individu tak terlepas dari kebutuhan dan tuntutan untuk diri sendiri dan lingkungannya. Maka, muncul suatu mekanisme penyesuaian seperti mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) dan mekanisme penyelesaian masalah (coping mechanism).

Defense mechanism ialah cara atau mekanisme pembelaan atau pertahanan diri yang digunakan seseorang untuk mengatasi ancaman atau permasalahan yang ditimbulkan oleh frustasi, konflik dan kecemasan. Mekanisme pertahanan diri menunjukkan proses tak sadar yang melindungi individu dari kecemasan melalui pemutarbalikan kenyataan (Sigmund Freud). Pada dasarnya strategi-strategi ini tidak mengubah kondisi objektif permasalahan dan hanya mengubah cara individu mempersepsi atau memikirkan masalah itu. Perilaku yang menggunakan mekanisme pertahanan diri memiliki implikasi dan konsekuensi yang memprihatinkan. Keprihatinan ini didasari pada dampak yang dapat menyesatkan. Terlebih jika terjadi pada remaja yang belum terbentuk atau mencapai suatu kematangan dirinya (psikologis, fisik, sosial).

Hal ini dikarenakan masa remaja adalah masa peralihan dari masa pubertas menuju masa dewasa awal, dimana dibutuhkan usaha yang keras dalam melakukan penyesuaian terhadap lingkungan dengan kondisi yang lebih baru dan lebih matang; dan juga belum selarasnya ketiga unsur jiwa (kognitif, afektif, konatif) mereka. Mereka masih dianggap oleh keluarga, masyarakat maupun oleh teman-teman sebayanya sebagai anak-anak yang belum memiliki kemandirian dan tanggung jawab yang berarti dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Stereotipe ini juga bisa menjadi tembok penghalang yang menghambat pengembangan dirinya agar lebih dewasa dan matang. Konsekuensi ketidakmampuan menyesuaikan diri (problem and coping solving) remaja menimbulkan suatu sikap yang tidak realistis, relevan dan logis termasuk dalam konsep pergaulan sosialnya.

Pertemanan dengan teman-teman sebaya dalam masa remaja menjadi hal atau pengaruh yang mendominasi dalam proses identifikasi dan pengembangan dirinya dibandingkan lingkungan keluarga. Pertemanan dimulai dengan satu, dua orang dan lambat laun jumlahnya akan semakin bertambah dan memungkinkan terbentuklah suatu kelompok sosial remaja (geng) yang dasarnya dilandasi oleh persamaan hobi, gagasan, gaya hidup dan sebagainya. Di dalam kelompok sosial ini remaja memiliki kesempatan mengaktualisasikan dirinya secara optimal, berbeda jika berada dengan orang-orang dewasa yang selalu membatasi, mengkritik dan menyalahkan dirinya dalam bersikap dan berbuat.

Geng-geng dalam kehidupan sosial remaja sering menggunakan konsep kelompok yang sempit dalam mengartikan kesetiakawanan antar individu kelompoknya yang hanya sebatas pada arti yang setia terhadap kawan secara harfiah saja, sehingga makna kesetiakawanan tereduksi menjadi suatu bentuk pemaknaan yang miring atau membias oleh sikap rasionalisasi remaja dalam menjaga eksistensi kelompoknya agar tetap penuh dan eksis dengan ketahanan anggotanya yang cukup solid.

Pertemanan dan pergaulan merupakan suatu yang diagungkan dan didahulukan oleh mereka. Lalu muncullah kata-kata penguat pertemanan seperti setiakawan, solidaritas/solider, dan sebagainya; menjadi kata kunci atau kode etik yang harus ditaati dan dijalankan. Akan sungguh berbahaya dan mengkhawatirkan jika kemudian konsep atau pandangan yang melandasi bentuk kolektivisme itu bersifat kerdil, dangkal dan sempit. Kolektif diartikan sebagai sekumpulan individu yang (di)seragam(kan), tanpa (boleh) ada perbedaan; kolektif diartikan sebagai menanggung segalanya secara bersama dan itu semua bersifat absolut. Disinilah sifat kolektivisme muncul dan berkembang menjadi semakin mapan. Ketika salah satu individu memiliki perbedaan atau sikap penolakan terhadap bentuk pertemanan itu, maka pada saat itu juga dan seterusnya (selama ia masih dalam pendiriannya) ia akan diintimidasi secara ramai-ramai oleh teman-temannya dan dipojokkan dalam pergaulannya. Inilah yang dinamakan suatu bentuk kolektivisme kerdil yang tidak hanya terjadi pada masa remaja saja tetapi juga pada orang-orang dewasa dengan “budaya timurnya” (Indonesia). Maka tak heran muncul bentuk pertemanan dan pergaulan yang salah seperti demi “kesetiakawanan” ramai-ramai mencuri, berkelahi, mengkonsumsi narkotika, menyontek dan sebagainya. “Kesetiakawanan” hanyalah sebuah bentuk rasionalisasi akan pembelaannya untuk pembenaran sikap dan perbuatan dari bentuk pertemanan meskipun salah.

Kata “kesetiakawanan” dalam arti sempit berarti suatu pembelaan terhadap diri atau eksistensi kelompok yang egoistik, yang menitikberatkan pada suatu jargon “setia kepada teman” dan diuntukkan hanya pada kepentingan sempit dan jangka pendek semata guna semakin memperkuat eksistensi kelompok dalam menjalankan pergerakannya. Maka, kelompok sosial yang menjalankan sistem ini menggunakan rasionalisasi sebagai suatu mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) atau kelompok.

Kesetiakawanan dan solidaritas mengalami penurunan makna (tereduksi) justru menjadi makna yang berbeda dengan pikiran rasional. Menunjuk pada kebodohan penyesuaian irasional, tidak responsible dan perilaku yang tidak logis; berpura-pura menganggap yang buruk adalah baik atau yang baik adalah yang buruk. Menjadi kata kunci pertemanan untuk melakukan hal-hal yang sesat atau tidak benar. Demi “kesetiakawanan” individu yang satu bersedia merokok sebagai syarat pertemanan bagi kelompok sosialnya; untuk “kesetiakawanan” ia menjadi pecandu narkoba; dalam “kesetiakawanan” ia tidak pernah masuk sekolah dan ikut tawuran; dan karena “kesetiakawanan” akhirnya hidupnya pun hancur berantakan. Inilah rasionalisasi “kesetiakawanan” yang implikasinya bersifat destruktif.

Rasionalisasi sering dimaksudkan sebagai usaha individu untuk mencari-cari alasan yang dapat diterima secara sosial untuk membenarkan atau menyembunyikan perilakunya yang buruk. Rasionalisasi berarti lawan dari katanya, dimana hal itu berbeda dengan pikiran rasional. Rasionalisasi juga muncul ketika individu menipu dirinya sendiri dengan berpura-pura menganggap yang buruk adalah baik atau yang baik adalah yang buruk. Rasionalisasi merupakan teknik adaptif yang cukup luas digunakan yang berfungsi untuk melindungi diri di dalam situasi yang tidak bisa diterima.

Rasionalisasi akan berjalan terus dan menunjukkan kesombongannya pada pergaulan sosial remaja jika tidak ada seorang pun yang berani untuk keluar dari lingkaran itu dengan berfikir yang benar dan realistis. Tapi permasalahannya ialah apakah remaja itu siap menghadapi suatu kemungkinan intimidasi dari kelompok teman-teman sebayanya dan kemudian keluar dari lingkungan yang cocok dengan kondisi dirinya sebagai remaja? Jika keluar, apakah ia bersedia beradaptasi dalam lingkungan baru yang terdiri dari orang-orang yang lebih dewasa dari dirinya serta memiliki konsekuensi dikritik dan selalu disalahkan? Polemik inilah yang semakin membuat remaja sulit menjalankan kehidupan peralihannya dari masa pubertas ke masa dewasa.

Jika remaja berani mengambil keputusan atas dasar nuraninya yang mengatakan bahwa rasionalisasi “kesetiakawanan” adalah sesat/salah guna memutuskan rantai kebodohan destruktif dan kembali berfikir rasional yang logis, maka dengan pendiriannya yang benar itu akan membawa dirinya kepada sebuah gambaran nyata akan kesetiakawanan yang sebenarnya, yang sejati; ialah bahwa kesetiakawanan dan solidaritas merupakan suatu sikap pertemanan yang saling menghargai, menghormati dan mengerti akan keragaman identitas dalam alur hubungan timbal balik yang harmonis antar individu. Disinilah muncul ikatan persaudaraan sejati yang saling mendukung dan membangun.

Perilaku defense mechanism seperti ini perlu diganti dengan suatu hal yang positif dan progresif, yakni dengan coping mechanism jika dihadapkan pada situasi yang mengancam atau permasalahan umum lainnya. Coping mechanism merupakan mekanisme yang dilakukan orang dalam menyelesaikan permasalahannya. Strategi coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan perkataan lain strategi coping merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk menangani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya. Jadi, proses pertemanan bisa dilandasi dengan penggunaan akal sehat dan objektivitas sebagai bagian dari bentuk coping mechanism sehingga kesetiakawanan tetap berada dalam posisi yang tegap dan tegak, yakni pemaknaan yang sebenarnya.

Pembenaran yang menyatakan bahwa sikap mereka masih bisa dimaklumi karena pertimbangan usia yang belum matang tidak sepenuhnya benar dan tidak dapat ditoleril. Sebab, tidak semua individu yang berada dalam masa remaja melakukan hal-hal seperti itu. Ada remaja yang bisa menampilkan sikap dan tindakannya yang positif dan progresif sehingga berguna bagi dirinya dan orang lain. Ini berarti menyatakan bahwa fenomena itu tidak dapat digeneralisasikan menjadi fenomena dan konsep umum pada suatu lingkungan akan keberadaan dan aktivitas remaja secara defenisi publik yang “miring”, yang menimbulkan suatu penilaian dan stereotipe tersendiri yang negatif.

Maka untuk menghindari sikap dan tindakan remaja yang negatif dalam pergaulannya diperlukan usaha konkret sejak dini, baik itu dari lingkungan keluarga, sekolah, teman sebaya dan masyarakat sebagai pendukung konsep diri remaja untuk saling berhubungan partisipatif dan saling mendukung satu sama lain, bukan justru berdiri dan berperan sendiri-sendiri dalam ketidakproporsionalnya.

Lingkungan keluarga bisa mengusahakan agar (individu) remaja tidak teralienasi oleh suatu suasana dan kondisi keluarga, khususnya dari orang tuanya. Hubungan antar anggota keluarga haruslah dilandasi oleh saling memahami akan kondisi dirinya masing-masing, sehingga jika remaja dimasa ini sedang mengalami masa transisional, masa perubahan, masa usia bermasalah, masa mencari identitas, masa usia yang menimbulkan ketakutan, masa yang tidak realistik dan masa dimana ia mengalami suatu sensitifitas emosi yang tinggi; maka diperlukan peran anggota keluarga, khususnya orang tua yang mengerti dan kemudian mencari berbagai strategi guna semakin memantapkan konsep dirinya menuju masa dewasa yang lebih mantap.

Lingkungan sekolah pun memiliki peran yang cukup signifikan agar remaja terhindar dari sikap rasionalisasi “kesetiakawanan” yang dapat membuat dirinya jatuh dalam sistem pergaulan sosial yang salah. Sekolah selain memberikan pengetahuan formalnya dalam pembentukan sikap yang selaras dengan lingkungan, juga harus memiliki pendidik yang mengerti kondisi psikologis muridnya. Para pendidik jangan menjadi instruktur yang setiap saat mengatur dan mempermasalahkan diri remaja dalam kegiatan belajarnya maupun dalam perilakunya di sekolah, tetapi para pendidik harus menjadi fasilitator yang mensejajarkan karakteristik dirinya dalam pergaulan sebagai muridnya. Sehingga hubungan yang sejajar dapat menghasilkan suatu pembelajaran yang berarti untuk pemantapan konsep diri remaja itu.

Hasil dari pembentukan konsep diri yang benar dari lingkungan keluarga dan sekolah akan menghasilkan pergaulan sosial remaja dalam kelompok sosialnya yang baik dan benar pula. Sebab individu-individu didalamnya sudah memiliki konsep diri yang mantap yang bisa menggunakan problem and coping solving dalam pergaulannya. Masing-masing individu inilah yang membentuk konsep atau sistem pertemanan dalam kelompok sosial (geng) yang positif.

Jika pembentukan konsep ini dapat berjalan dengan baik dan lama, maka stereotipe masyarakat yang tadinya melulu memojokan remaja pada posisi yang terbalik (negatif) akan berubah menjadi streotipe positif. Masyarakat akan mendukung dan membantu perkembangan kepribadian, pengembangan potensi dan kematangan diri remaja untuk melewati masa peralihan dengan baik menuju masa dewasa.

Sumber: http://www.psikologi.net/artikel/news.php?id=47
Mar 04, 2007 at 11:03 AM

No comments: