Pages

Pemudik Membelanjakan 47.6 Trilyun Rupiah Ke Daerah Asal Setiap Tahun


JAKARTA – Satu bulan sudah Hari Raya Idul Fitri berlalu, habis sudah hingar bingar, kekisruhan dan kesibukan yang menyertai hari besar ummat Islam ini. Salah satu aktivitas yang paling banyak menyedot pikiran dan tenaga semua pihak ketika hari raya adalah mudik, aktivitas pergerakan jutaan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya.

Pergerakan manusia yang sangat besar ini tentu diikuti pula dengan pergerakan ekonomi yang sangat besar. Berdasarkan penilitian yang dilakukan Dompet Dhuafa, besaran moneter ekonomi mudik pada tahun 2010 ini sebesar Rp84,9 trilun. Jumlah ini didapatkan dari total biaya yang dikeluarkan oleh pemudik, baik untuk biaya transportasi, konsumsi di perjalanan, akomodasi, kedermawanan (filantorpi) hingga wisata dan investasi. Angka ini akan bertambah menjadi Rp104,8 triliun jika dimasukkan remitensi TKI ke Indonesia sebesar Rp20 triliun.

Menurut penelitian ini pula diketahui bahwa dari total biaya yang dikeluarkan oleh pemudik yang berjumlah 84, 9 triliun itu, sebanyak 56 % beredar di daerah melalui komponen biaya akomodasi, wisata (leisure), kedermawanan (filantropi) dan zakat. Adapun 44 % sisanya tercecer selama di perjalanan, yaitu biaya transportasi, konsumsi dan oleh-oleh yang dibawa dari kota.

Penelitian yang dilakukan pada H-3 hingga H+3 lebaran ini juga menemukan, bahwa alokasi terbesar biaya yang dikeluarkan oleh pemudik adalah untuk biaya transportasi (22,7%) baik bagi pengguna sepeda motor, mobil, kapal, pesawat, maupun kereta api.

“Sebagian besar pemudik mengaku harus merogoh kocek cukup dalam untuk biaya transportasi ini,” uangkap Direktur Program Dompet Dhuafa, M Arifin Purwakananta, Jumat (8/10).

Selain itu, pengeluaran yang tak kalah besarnya adalah dana untuk kedermawanan (filantropi) sebesar 20,7 %. “Sebagaimana lazimnya hari raya, keluarga yang datang dari kota akan menyediakan uang tunai yang dibagi-bagikan kepada keluarga,” tambah Arifin.

Temuan lain dari survei ini adalah keseluruhan biaya mudik di atas mengalir ke tiga komponen besar yaitu korporat besar baik negara maupun swasta melalui tiket kendaraan, BBM dan wisata (34,8 %), Usaha Kecil dan Menengah dalam bentuk konsumsi, oleh-oleh dan akomodasi (36,47 %), dan masyarakat dalam bentuk kedermawanan karitatif (29,35 %).

Temuan yang menarik lainnya adalah potensi zakat yang tersarlur ke daerah adalah Rp7,35 trilun (9 %) dari total biaya mudik responden. Hal ini diketahui dari prosentasi responden yang mengaku akan menyalurkan zakatnya di daerah (52 %).

Selain itu, temuan lainnya adalah sebagian besar responden mengaku alokasi dana yang dikeluarkan untuk mudik melebih dari penghasilan yang mereka terima. Untuk menutupi over cost itu, responden mengaku harus merogoh kocek lain seperti THR, tabungan atau bahkan pinjaman. Berdasarkan perhitungan, rata-rata devisit responden adalah 11 %.

“Jika penghasilan pemudik itu Rp2 juta, maka biaya yang dikeluarkan saat mudik sebesar Rp2.220 ribu,” pungkas Arifin.

sumber : Jurnal Kemiskinan

IMPIAN DUA ANAK DESA KELILING DUNIA


Ahmad Mukhlis Yusuf

Be careful of your wish for, because it may happen (Anonymous)"

Masa depan, apakah ia dimiliki oleh orang-orang tertentu? Atau ia bebas dimiliki siapa saja? Saya ingin menuturkan dua kisah anak desa yang membuktikan ia milik siapa saja.

Pada suatu malam pada tahun 1981 di sebuah kamar berukuran 3x4 meter, sambil menikmati pisang ambon kegemaran kami, saya mendengarkan dengan seksama penuturan seorang sahabat tentang impiannya untuk keliling dunia. Ia bercerita sambil menggenggam sebuah buku kisah perjalanan. Saya lupa judulnya.

Kami berdua bertetangga, tinggal di kampung, di sebuah kota kecil, Pandeglang, Banten. Membaca buku merupakan kemewahan bagi kami saat itu. Ada dua cara yang biasanya kami lakukan untuk mendapatkan buku; pertama, pinjam kepada Harry, anak dokter satu-satunya di kota kami saat itu. Kedua, pinjam ke perpustakaan umum, sekitar lima kilometer di pusat kota.

U. Saefudin, nama sahabat kecil itu. Belakangan ia tambahkan nama ayahnya, Noer, di belakang namanya. Saya sering memanggilnya Ka Udin, sebab ia lebih tua setahun. Saefudin sangat menghormati kedua orangtuanya. Belakangan, setelah ia bekerja, orang-orang memanggilnya sebagai Pa Uu.

Sejak kecil saya mengenalnya sebagai pribadi yang senang berorganisasi dan sarat prestasi akademik. Dua hal yang kadang saling bertentangan dan saling meniadakan, namun tidak bagi Saefudin.

Di sela-sela belajar bareng, dia sering menunjukkan buku-buku puisi karya WS Rendra dan puisi-puisi karyanya yang dimuat di majalah Hai. Ada bakat besar untuk menjadi penyair pada dirinya, karena ia juga sarat dengan prestasi seni baca puisi. Saking seringnya menang perlombaan baca puisi, ia dilarang ikutan lomba lagi di tingkat kabupaten dan justru dijadikan juri oleh guru SMP kami.

Saefudin mampu memadukan kegairahan belajar di kelas, hobi berorganisasi di luar kelas dan keluasan pergaulannya dengan para seniman dan penggiat aktivitas kemasyarakatan, termasuk Pramuka. Ia tidak pernah terlihat lelah bila sedang berorganisasi. Diam-diam, saya belajar darinya, sembari mengagumi berbagai kelebihannya. Tentu, tak ada manusia yang sempurna.
Selengkapnya, sahabat dapat mengklik http://www.antaranews.com/kolom/?i=1256267147

KATA-KATA HAJI AAN ZUHANA YANG MENGGETARKAN

KATA-KATA HAJI AAN ZUHANA YANG MENGGETARKAN
Jumat siang itu udara Bandung terasa sejuk. Saat itu, aku tengah menyimak uraian khutbah Jumat di Masjid Al Azhar, Kelurahan Pasteur, Bandung. Aku berada di Bandung merayakan Idul Adha beberapa bulan lalu.

Penyampai khutbah sepertinya tuna netra, kusimpulkan dari jauh dari caranya menatap hadirin. Beliau menyampaikan uraian tentang makna ibadah Kurban dengan sangat menarik, terutama tentang komitmen setiap manusia yang beriman untuk ikhlas berkorban demi tujuan hidup yang lebih besar dan sejati.

Semakin aku menyimak isi khutbahnya, semakin larut aku pada ajakannya. Hatiku tiba-tiba bergetar oleh artikulasi penyampai khutbah yang mampu memberikan contoh-contoh pengorbanan manusia-manusia besar baik pada masa lalu maupun masa kini. Ajakannya untuk berbagi membuat sebagian besar jamaah yang hadir, yang umumnya bukan tuna netra, terdiam menyimak khusyu.

Beliau menyampaikan ajakan untuk meraih kebahagiaan spiritual sebagai kebahagiaan tertinggi, bila kita lebih banyak memberi dan berbagi, ketimbang mengharap menerima. Ada kebahagiaan pada nurani kita bilamana kita lebih banyak memberi, demikian katanya.

Aku merasakan getaran tambah kuat saat kata-katanya mengalir penuh makna sedalam M. Natsir (alm) dengan artikulasi sekelas salah satu komunikator terbaik di negeri ini yang kukagumi, Jalaludin Rachmat.

Subhanallah. Seorang tuna netra mengajak kita berbagi, padahal boleh jadi sebagian dari kita sering iba melihat mereka. Aku jadi teringat pada perbincanganku dengan para tuna netra sebelumnya, mereka selalu bilang tidak ingin dikasihani. Mereka hanya berharap mendapat kesempatan untuk berbuat.

Setelah shalat Jumat selesai, aku menghampirinya dan mengajaknya berkenalan, sembari berterima kasih atas isi khutbahnya. Nama beliau adalah H. Aan Zuhana (67 tahun), tinggal di Cibeber, Cimahi, Bandung. Beliau menyapaku dengan ramah, alhamdulillah harapanku berkenalan disambutnya dengan baik.

Selanjutnya, sahabat dapat mengklik:
http://www.antaranews.com/jeda/?i=1263193485